17/06/11

Bayang Nyata Masa Lalu

“Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, De.”

Hanya kalimat itu yang hingga kini buatku tegar untuk menerima kenyataan pahit di dalam hidup. Kehilangan satu-satunya kakak perempuan yang kumiliki. Beberapa hari yang lalu Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengalami keadaan tak sadarkan diri atau yang biasa disebut koma hampir tiga bulan lamanya akibat penyakit akut yang ternyata sudah lama Ia idap. Mirisnya, kedua orangtuaku menyimpan rapat tentang semua ini dariku, hingga akhirnya.. Kakak perempuan yang kupanggil “Teteh” itu, pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.

Tiga bulan yang lalu..

“Tapi itu semua bukan alasan, Bunda.. Kenapa baru sekarang.. Kenapa..“ Kutatap Bunda dan Ayah yang berdiri disampingnya secara bergantian, namun mereka hanya terdiam menunduk. Semuanya terasa tiba-tiba dan begitu menyesakkan dada. Tanpa menghiraukan mereka, aku berlari memasuki koridor Rumah Sakit menuju sebuah ruangan lalu kubuka pintunya. Aku melihat perempuan cantik itu terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur rawatnya dengan mengenakan berbagai peralatan medis di sekitar mulut dan tangan kirinya. Wajahnya memang pucat, tetapi senyumnya selalu dan masih terlihat sama dari dulu. Kugenggam erat tangannya, hangat. Kubisikan di telinganya “Jadi siapa sekarang yang kebo dan kebluk hey.. Ayolah teh, bangun..” Kuambil selembar kertas dari tasku. “Tebak teh, nilai ulangan fisika ade berapa..” Tak ada respon apapun, diam tak bergeming. “Seratus teh.. Seratus. Ini hasil kita begadang minggu lalu, yang teteh ajarkan ke ade..Bangun teh, lihat teh.. Ini untuk teteh..” Masih tetap diam. Dan tak dapat kubendung lagi air mata ini. Padahal baru kemarin Ia bercerita padaku tentang banyak hal seperti biasa. Ceria dan penuh semangat. Tetapi saat ini yang terdengar hanya isak tangisku. Tetesan air mata ini lalu jatuh membasahi tangannya. Biasanya Ia yang selalu menghapus air mata ini, menempatkanku di bahunya untuk bersandar dan menghiburku dikala duka menghampiri. Namun kini…

Sudah sebulan lamanya kakak perempuanku terbaring di Rumah Sakit. Dan selama itu pula aku berusaha selalu menemaninya disela-sela kesibukanku yang les sana-sini untuk persiapan menghadapi Ujian Nasional, begitupula dengan testing di SMA yang nantinya akan menjadi sekolah baruku, di sebuah sekolah yang juga merupakan sekolah kakak perempuanku itu. Aku sangat berharap bisa seperti dirinya, yang berprestasi dan aktif berorganisasi sehingga memiliki banyak teman. Kami sering bermimpi bersama untuk menciptakan masa depan, seperti misalnya cita-cita kami sebagai psikolog terlaksana. Dan masih banyak hal lainnya lagi. Aku sudah lupa kapan mimpi-mimpi itu kami lontarkan, yang pasti aku percaya. Suatu hari, mimpi-mimpi itu akan tecapai.
Kami bisa.

Entah sudah berapa buah novel yang kubacakan untuk kakak perempuanku. Rasanya aku tidak bosan-bosan. Teringat dulu saatku sakit, Ia yang selalu membacakan cerita-cerita dari novel yang pernah dibacanya. Sangat mengagumkan. Dia memang gemar membaca dan mengoleksi novel. Sebenarnya aku tak begitu suka dengan novel, terkesan membosankan tak ada gambarnya. Lebih baik komik walaupun nyatanya aku tak suka membaca. Namun setelah Ia mengenalkan novel padaku, tak buruk lah.. Aku mulai ikut menyukai novel. Handphoneku berdering. Kulihat layarnya, Ayah memanggil.
“Assalamualaikum ayah.”
“Waalaikumsalam de. Kamu sudah berangkat les, kan?”
(Ups. Kulihat jam tanganku, sudah pukul tiga sore)
“Oh. Hehe. Iya ayah, maaf ade lupa. Tapi ini mau berangkat kok yah.”
“Maaf ya ayah tidak bisa mengantar. Pekerjaan Ayah masih menumpuk, tidak mengapa kan sayang? Hati-hati di jalan ya nak. Assalammualaikum.”
“Waala..” (Tuuutuut..) Teleponnya sudah diputus. Fiuh.. Kutarik nafas dalam-dalam. Ah bagaimana ini. Aku masih ingin menemani Kakak perempuanku. Tetapi yasudalah. Kubereskan novel-novel itu lalu mengambil tas. Kuhampiri kakak perempuanku, kucium keningnya. “Ade mau les dulu ya teh. Besok ke sini lagi, tenang aja. Ade sayang teteh..”

Kira-kira sekitar pukul lima sore aku baru selesai les. Turun dari bus kota, aku berjalan memasuki perumahan dan tak kuhiraukan tukang ojeg yang menawarkan jasanya. Kurasakan udara di sekitar beterbangan membentuk angin menerpa wajah ini. Kulihat langit ternyata agak mendung. Benar saja, beberapa detik kemudian rintikan hujan mulai membasahiku. Pernah saat aku kehujanan begini, Kakak perempuanku berlari menyusul dan memberikan jaketnya padaku. Ya, jaket berwarna putih kesayangannya pemberian ayah dihari ulangtahunnya tahun lalu. Tak peduli sekuyup apapun basahnya, Ia selalu lebih mementingkanku. Kami berlari sambil bercanda di tengah derasnya hujan yang turun. Dan ritual kami setelahnya adalah melihat betapa indahnya sang pelangi. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.. "Aku biruu.." Teriaknya. Oh ayolah.. Berpikir apa aku ini. Kakak perempuanku kan sedang terbaring tak berdaya di Rumah Sakit.

Hari ini merupakan hari ke 86 kakak perempuanku koma. Aku masih menunggunya dan berharap ada keajaiban datang padanya. Kulihat bunga yang bunda taruh di vas, di sebelah tempat tidur kakak perempuanku sudah layu. Mungkin bunda lupa menggantinya, pikirku. Samar-samar dari luar ruangan aku mendengar percakapan antara kedua orangtuaku dengan dokter. “Apa tidak ada lagi yang bisa dilakukan, dokter.. Saya mohon..
“Maaf bu, tapi kami sudah semaksimal mungkin di sini..”
“Dokter yakin?”
“Ya pak, saya yakin.”

Apa yang mereka bicarakan? Yakin untuk apa? Kutatap kakak perempuanku itu. “Teh bangun teh. Teteh pasti kuat kan teh? Kasih mereka bukti teteh masih kuat teh.. Bangun ade mohon..” Tangisku pecah, untuk kesekian kalinya. “Mana tetehnya ade yang kuat? Mana?” Aku mengoyangkan kedua pundaknya. “Bangun teh banguun..” Ayah melepaskan tanganku dari pundaknya. Lalu dokter dan beberapa perawat lainnya masuk ke dalam ruangan, melepaskan satu persatu alat medis dari kakak perempuanku. “Ayah, kenapa dilepas.. Jangan ayah.. Ja-ngan..” Namun ayahku hanya diam membisu. Kulihat bunda berdiri di ambang pintu, menangis terisak. Kuhampiri dan memeluknya.

Kakak perempuanku dipindahkan perawatannya di rumah. Alat medis yang digunakan hanyalah sebuah infusan. Aku tak mengerti mengapa kedua orangtuaku melakukan ini. Tapi tak mengapalah, dengan begini aku tak perlu jauh-jauh ke Rumah Sakit untuk menemani kakak perempuanku dan bisa setiap saat berada di sampingnya. Aku tidak bersekolah berhari-hari dengan alasan sakit padahal sebenarnya tidak. Hal yang ingin aku lakukan hanyalah menemani kakak perempuanku dan kembali membacakannya novel. Hari ketiga Ia menjalani perawatan di rumah, di kamarnya, aku menemukan sebuah catatan saat hendak membereskan kamar. Sebuah buku dengan sampul berwarna biru muda ditulisi kata-kata asing dengan rapi. Aku tak mengerti apa artinya. Kucoba membuka halaman awal, terdapat foto kami berdua saat masih sekolah dasar. Aku jadi teringat saat-saat itu..
Awalnya, catatan itu seperti album foto dan ada beberapa karya puisinya. Namun dilembar-lembar berikutnya, baru kusadari ini adalah sebuah buku diari. Tadinya akan kusimpan saja, tak enak membaca buku diari orang lain, tapi perhatianku tertuju pada suatu halaman yang warnanya dari yang lain berbeda. Seperti.. Seperti ada noda bercak darah di pinggir halamannya. Karena penasaran, kubuka dan kubaca halaman itu..

16 September 2009

Sakit yang sama. Yang harus saya rasakan untuk kesekian kalinya.
Sampai kapan ini akan berakhir.. Rasanya lelah sekali melewati ini semua.
Tapi saya rela ya Allah, karena ini mungkin yang terbaik bagi saya.
Namun berilah saya kesempatan untuk membahagiakan kedua orangtua saya.
Begitupula dengan adik saya, berilah saya kekuatan tuk tegar di hadapannya.
Bila Engkau mengambil saya, berilah mereka ketegaran menerimanya..
Satu permintaan saya, izinkanlah saya terlahir kembali di dunia ini untuk menemani adik saya.
Untuk mewujudkan mimpi kami berdua.

Ada sedikit coretan di bawahnya, tidak jelas itu apa. Yang pasti setelah mambacanya, dadaku sesak. Ternyata Ia tak ingin aku tahu mengenai penyakitnya. Kututup buku itu, kutaruh di lemari buku. Aku berjalan menghampiri kakak perempuanku yang terbaring di atas tempat tidurnya. “Ade ikhlas teh, kalau teteh memang harus pergi.. Karena ade juga engga mau melihat teteh berpura-pura untuk setegar itu. Ade kecewa, kenapa teteh gapernah bilang tentang penyakit ini teh.. Tapi.. Ade tetap sayang teteh, walaupun berat tanpa teteh, ade tahu teteh selalu ada buat ade.”

Dan aku pun tertidur dengan lelap di samping tempat tidurnya sekitar pukul dua dini hari. Antara sadar dan tidak, ada seseorang yang mengelus rambutku. Mungkin ayah.. Atau mungkin bunda.. Saat tertidur, aku bermimpi berada di tempat yang begitu terang. Tak dapat kupandang dengan jelas di sekitarku karena silaunya tempat itu. Aku mendengar suara kakak perempuanku memanggil dengan suara yang semakin lama semakin menjauh. Kuikuti arah suara itu, sampai aku mendengar, “Maaf de. Teteh sayang ade.” Aku terhentak dan terbangun dari tidurku. Aku berada di dalam kamarku. Aku sangat berharap semuanya adalah mimpi buruk panjang yang kualami. Aku segera berlari menuju kamar kakak perempuanku. Kubuka pintunya, dan.. Kosong! Tak ada kakak perempuanku atau infusannya. Yang ada hanyalah layaknya sebuah kamar yang rapi, baru dibereskan. Dari luar, terdengar suara mesin mobil. Sepertinya ayah akan pergi, namun ke mana.. Kuturuni tangga dan bergegas menuju garasi.

Belum sampai di garasi, begitu tercengangnya aku saat berada di ruang tamu. Karpet digelar bak acara pengajian. Dan.. Apa itu? Kuraih buku kecil di sekitar karpet, bertuliskan “Yasin”. Ya Allah.. Jangan-jangan.. Aku berlari sekuat tenaga menuju garasi namun mobil ayah sudah melewati gerbang depan. Aku tetap berlari mengejarnya tanpa memakai alas kaki. Panasnya aspal yang aku injak di jalanan itu sudah ku tak hiraukan lagi. Aku tertinggal sangat jauh dari mobil ayah namun aku tak boleh berhenti. “Teteh..” Gedubag!!! Aku terjatuh karena tersandung batu. Lutut dan sikutku luka terkena aspal jalanan, telapak tanganku lecet akibat menahan. Daguku basah.. Dan saat kupegangi daguku, ternyata berdarah.. Pandanganku kabur. Gelap. Yang terbayang olehku hanyalah ketika aku berusia lima tahun, saat sedang belajar mengendarai sepeda bersama kakak perempuanku. Waktu itu aku terjatuh dan Ia dengan sabarnya Ia mengobati lukaku. “Jangan nangis ade.. Cup-cup.. Sini teteh tiup ya lukanya sayang..”

Suara ribut di sekitar membangunkanku. Kulihat.. Ada banyak sanak saudara di kamarku. Di sini juga ada pula ayah dan bunda yang menatapku dengan tatapan cemas penuh rasa khawatir. Kupegangi kepalaku. Ah, sakit sekali. Mereka lalu datang menghampiriku. Namun aku kesal! Aku kesal dengan mereka semua! Aku berbalik arah membelakangi mereka. “Maafkan bunda sayang.. Tadinya bunda mau membangunkanmu tapi..” Bunda berhenti berbicara. Entah apa yang ayah bisikkan padanya. Aku ingin berteriak, namun daguku perih. Semua luka di tubuh pun menjadi terasa sakitnya. Terdengar di luar sana suara orang-orang yang sedang membaca surah Yasin dan aku kembali teringat pada sosok kakak perempuanku.. Tanpa terasa, air mata yang kukira sudah mengering itu, kini kembali jatuh membasahi pipi. Dan akhirnya.. Kakak perempuanku, tetehku itu.. Benar-benar pergi.

Terangnya sinar rembulan ditemani gemerlapnya bintang bintang di langit kelam sana seakan mengiburku. Ya. Sudah lebih dari seratus hari kepergian almarhumah kakak perempuanku, keluarga besar kami pun masih berduka. Mengingat kebaikan, prestasi dan hal lainnya yang membuat kami tak akan pernah bisa lupa karena begitu melekat dan mengharumkan nama baik keluarga. Tak bisa kuhindari, aku sendiri memang masih sangat sedih dan kehilangan. Tapi.. Saat ini aku disibukkan oleh pendaftaran SMA, sehingga kejadian duka itu agak terobati. Aku tidak jadi untuk mendaftar di sekolah almarhumah kakak perempuanku seperti yang aku impikan dulu. Aku memilih untuk mendaftar di SMA yang tidak begitu jauh dari rumahku. Selain uang bekal untuk ongkosnya bisa aku tabung, katanya sekolah itu bagus dan memang ada di klaster pertama. Cita-citaku pun sekarang berganti, ingin menjadi seorang dokter ahli bedah yang bisa menyelamatkan jiwa pasiennya.

Berkas-berkas semua sudah terselesaikan. Kini aku telah resmi menjadi murid di SMA tersebut. Perasaanku? Sangat biasa saja. Bahkan saat Masa Orientasi Siswa atau MOS nya pun sangat membosankan untukku. Hampir saja tiga hari MOS terakhir aku tidak akan mengikutinya. Lebih baik di rumah saja, enak. Bisa menonton televisi, baca novel atau sekedar mendengarkan lagu lalu tidur di atas tempat tidur yang empuk. Daripada dijemur panas-panasan layaknya orang tolol yang dibentak-bentak oleh kakak kelasnya. Tak peduli tentang disiplin atau apanyalah, buatku tidak akan berpengaruh apa-apa. Tapi dasar kedua orangtuaku.. Mereka memaksa bahkan memohon agar aku mengikutinya, ah yasudalah tak tega melihatnya. Lagipula aku tahu apa alasan mereka begitu. Hanya ada satu. Mereka tak ingin aku kembali sedih jika di rumah karena nanti teringat almarhumah kakak perempuanku lagi.

Dan ternyata mereka salah besar. Saat pengenalan panitia OSIS yang terdiri dari kelas dua belas, ada seseorang yang sangat familiar bagiku. Tuhan.. Apa-apaan ini.. Mengapa begitu pasarannya wajah itu.. Dia sangat mirip dengan almarhumah kakak perempuanku. Benar-benar tidak mungkin tapi.. Ini nyata. Aku meminta temanku untuk mencubit tanganku dan aduh.. Aku memang tidak sedang bermimpi. Sulit untuk dijelaskan bagaimana rasanya saat itu. Sedih karena teringat kembali namun senang pula bisa melihatnya kembali. Bukan di foto, bukan hanya lamunan, tapi nyata. Tak terasa tiga hari MOS telah terlewati dan tak kukira aku mengakui bahwa asyik juga, berkesan. Bisa jadi karena MOS itu memang sukses atau…

Iseng-iseng aku mengikuti seleksi calon pengurus OSIS angkatan baru di sekolah baruku ini. Sebenarnya ingin tahu juga, bagaimana berorganisasi seperti yang dilakukan almarhumah kakak perempuanku itu. Katanya sih pengalaman seru yang campur aduk tak bisa diceritakan.. Hm.. Hari itu pun tiba. Hari di mana kami semua yang mengikuti seleksi diuji dalam suatu kegiatan, seperti berkemah lagi namun sungguh lebih ‘ekstrim’. Di sana tiga hari rasanya seperti berbulan-bulan. Merupakan keadaan yang sangat memprihatinkan buatku, karena baru kali ini diperlakukan keras seperti ini. Untuk beberapa kali, aku sempat melihat kakak kelas itu.. Sikap tenang namun tegas dengan tatapan tajamnya sangatlah mengagumkan. Tapi entahlah, rasanya ingin mencingcang habis semua kakak-kakak kelas di sini. Mereka sangat menyebalkan namun aku bisa apa.. Apalagi kakak kelas laki-laki yang satu itu, sudah seperti monster saja dengan teganya merobek tanda pengenalku di depan semua peserta dan panitia. Sial. “Lalu apalagi, hah..”

Semula yang kukira sifatnya sama, ternyata seratus delapan puluh derajat berbeda. Cueknya minta ampun. Aku sedikit trauma dengan kegiatan penyeleksian itu, jadi aku menghindari kakak-kakak kelas di sekolah baru ini. Termasuk Ia yang mirip dengan almarhumah kakak perempuanku. Namun takdir berkata lain, tak tahu mengapa sudah memasuki SMA ini rasanya aku sial terus. Keisenganku untuk menyimpan nomor handphone kakak kelas itu yang kudapatkan dari salah satu jejaring sosial, membuat titik awal yang begitu suram. Aku salah kirim pesan. Tombol handphone yang ajaib ini mengirimkan pesan yang harusnya kukirim pada saudaraku malah ter-tekan pada kontak kakak kelas itu. Dug dag dig dug jantungku berdetak. Saat handphoneku berbunyi menandakan ada pesan masuk, hampir saja copot rasanya jantung ini. Kuatur nafas senormal mungkin. Memang terkesan berlebihan tapi nyatanya segala ketakutanku akan kakak kelas juga bercampur saat itu.

Ada sekitar beratus-ratus pesan di kotak masuk handphoneku. Dan tak ada yang tahu bahwa sebagian besar pesan-pesan itu berasal dari kakak kelas itu. Ya, keisenganku membuat aku terhubung dengannya. Akhir-akhir ini pun kami tanpa sengaja bertemu dan berkegiatan bersama lewat acara dan kegiatan sebuah ekstrakulikuler. Rasanya memang lain antara di pesan dan di sekolah. Tapi tak mengapalah, yang tahu kan hanya kami. Toh kami sempat mengobrol walau sebentar. Ia banyak mengajarkan banyak hal baru padaku. Dia juga selalu memberikan semangat dan motivasi untukku. Lama-lama.. Aku merasa dia adalah almarhumah kakak perempuanku. Kebiasaan mereka yang sama suka mengenakan jaket putih, tidak suka cokelat dan bau minyak kayu putih sampai cita-cita pun bahkan sama. Aku juga heran mengapa ini bisa terjadi, namun secara tidak langsung, dia mengobati rinduku pada sosok seorang “teteh” dihari-hariku ini.

Suara burung burung kecil di atas pepohonan itu membuyarkan lamunanku. Angin di sekitarku berhembus menerbangkan dedaunan tua yang sudah layu. Memang sejak saat itu, aku sampai lupa untuk mengunjungi makam almarhumah kakak perempuanku. Kubersihkan nisan bertuliskan namanya lalu kutaruh bunga mawar putih kesukaannya. “Teh.. Terimakasih untuk semuanya. Tunggu ade suatu saat akan menyusul, dan kita bisa seperti dulu lagi ya.”

“Iya. Tapi sekarang udah jam berapa. Yang lain nunggu kamu di sekolah.” Hah? Suara itu? Refleks aku menoleh ke belakang dan benar saja, kakak kelas itu sedang berdiri di belakangku. “Yu ke sekolah, kita latihan. Betah amat di tempat beginian. Hiiy..” Dia menarik tanganku. Di perjalanan menuju sekolah, langit mendung dan sesaat kemudian rintikan hujan mulai turun.. Ia memberikan ku jaket putihnya untuk kukenakan. Sempat bingung dan tak menyangka kejadian ini dapat terulang kembali. Awalnya aku menolak tapi setelah dipelototi ya.. Apa boleh buat. “Maaf ya teh jadi merepotkan.” Dia berhenti berjalan dan menaikan sebelah alisnya. “Enak aja, ga gratis. Nanti di sekolah bending pokoknya. Tinggal pilih paket seri nya, oke.” Sial. “Hehee teteh cantik.. Teteh baik deh teh, gausah yaa.” Lalu Ia melanjutkan jalannya. “Cantik? Idih.. Baru tau? Udah, berisik. Salah sendiri.” “Teh, ayolah.. Hahahaha” Kami bercanda di tengah hujan yang membuat kami basah kuyup. Sesampainya di sekolah, kami sempat melihat pelangi di atas langit. “Ternyata.. Harus hujan-hujanan dulu ya sebelum bisa lihat pelangi.” Mendengarnya.. Aku sih hanya tersenyum saja. Walau aku tau.. Cepat atau lambat pelangi itu akan hilang dan hujan pasti akan datang kembali.

***